DI INDONESIA


Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi dengan terang-terangan dinobatkan sebagai dua kelompok disiplin, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial sekali gus. Selain itu pula, sangat dirasakan perlunya memanfaatkan ilm eksakta di bidang disiplin ini, terutama yang berkaitan dengan organologi, akustik, dan artefak. Etnomusikologi, pada waktu ini, memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu.  Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas.

Etnomusikologi biasanya secara tentatif paling tidak menjangkau lapangan-lapangan studi lain sebagai suatu sumber stimulasi baik terhadap etnomusikologi itu sendiri maupun disiplin saudaranya, dan ada beberapa cara yang dapat dijadikan nilai pemecahan terhadap masalah-masalah ini.  Studi teknis dapat memberitahukan kita banyak tentang sejarah kebudayaan.  Fungsi dan penggunaan musik adalah sebagai suatu yang penting dari berbagai aspek lainnya pada kebudayaan, untuk mengetahui kerja suatu masyarakat.  Musik mempunyai interelasi dengan berbagai tumpuan budaya; ia dapat membentuk, menguatkan, saluran sosial, politik, ekonomi, linguistik, religi, dan beberapa jenis tata tingkah laku lainnya.  Teks nyanyian melahirkan beberapa pemikiran tentang suatu masyarakat, dan musik secara luas dipergunakan sebagaimana analisis makna terhadap prinsip struktur sosial.  Etnomusikolog seharusnya tak dapat menghindarkan diri terhadap dirinya sendiri dengan masalah-masalah simbolisme di dalam musik, pertanyaan tentang hubungan antara berbagai seni, dan semua kesulitan pengetahuan apa itu estetika dan bagaimana strukturnya.  Ringkasnya, masalah-masalah etnomusikologi bukan hanya terbatas kepada teknik semata--tetapi juga tentang tata tingkah laku manusia.  Etnomusikologi juga tidak sebagai sebuah disiplin yang terisolasi, yang memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoteris saja, yang tak dapat diketahui oleh orang selain yang melakukan studi etnomusikologi itu sendiri.  Tentu saja, etnomusikologi berusaha mengkombinasikan dua jenis studi, untuk mendukung hasil riset, untuk memecahkan masalah-masalah spektrum yang luas, yang mencakup baik ilmu humaniora ataupun sosial.

Ilmu pengetahuan humaniora lebih menaruh perhatian kepada nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sosial, dan lebih menaruh perhatian kepada nilai kebebasan dalam mendeskripsikan perilaku manusia.  Pernyataan ini, secara umum memang benar, yang kembali mendiskusikan dan menanyakan metode-metode daripada menanyakan muatan lapangan studinya.  Begitu juga, penting untuk menyatakan bahwa ilmu pengetahuan humaniora sangat melibatkan nilai-nilai, dan ini menjadi titik kuncinya.  Dengan demikian, fokus ilmu-ilmu humaniora dibangun di atas kritik pengujian dan evaluasi dari produk manusia di dalam urusan kebudayaan (seni, musik, sastra, filsafat, dan religi), sedangkan fokus ilmu pengetahuan sosial adalah cara  manusia hidup bersama, termasuk aktivitas-aktivitas kreatif mereka.  

 Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi tentu saja harus berdasar kepada tiga esensi dasar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu epistemologis, aksiologis, dan ontologis. Dalam filsafat dikenal dua istilah yang saling berkaitan, tetapi memiliki makna yang berbeda yaitu istilah pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (ilmu atau sains) yang berasal dari bahasa Inggris science. Pengetahuan adalah istilah yag digunakan dalam filsafat yang berarti belum sampai kepada tahap ilmu pengetahuan. Filsafat sendiri dapat diartikan sebagai cara berpikir yang radikal dan menyeluruh—suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.

Ilmu pegetahuan adalah sebuah disiplin yang mempunyai tahapan-tahapan dan prosedur-prosedur tertentu, yang sering disebut ilmiah. Di antaranya adalah rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan (observasi), penelitian, pengolahan data, temuan, dan lain-lainnya.
Dalam ontologis biasanya dipertanyakan apa yang ingin kita ketahui. Seterusnya dalam epistemologis dipertanyakan tentang bagaimana kita mengetahuinya. Sedangkan pada aksiologis ditanyakan nilai apa yang berkembang pada pengetahuan yang kita ketahui. 

Ketiga dasar filosofis ini tentu saja dapat diaplikasikan dalam menjawab munculnya etnomusikologi di tengah-tengah ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik. Secara ontologis etnomusikologi digunakan oleh para ilmuwannya untuk mengetahui musik dalam kebudayaan.  Atau kalau diperluas menjadi musik dalam kebudayaan, musik sebagai kebudayaan, dan musik dalam konteks kebudayaan. Secara filosofis mengetahui musik tujuan akhirnya adalah mengetahui bagaimana manusia yang menggunakan dan mendukung musik itu. Musik adalah salah satu cabang kesenian, dan kesenian sediri adalah salah satu unsur kebudayaan. Jadi mengetahui musik, harus mempertimbangkan dalam seni dan kebudayaan yang lebih holistik. Selain itu dalam rangka mengetahui musik tentu saja harus melihatnya dalam konteks sosial juga selain budaya. Bagaimana musik ini hidup dan berkembang dalam kelompok manusia, sejauh apa pula sumbangannya dalam konteks sosiobudaya.

Secara epistemologis pula etnomusikologi dalam rangka mengetahui musik dalam kebudayaan, mestilah memiliki teori dan metode. Teori adalah panduan dasar dalam memecahkan dan memerikan fenomena musik dalam konteks sosiobudaya. Teori menjadi alat untuk menganalisis. Namun untuk mengembangkan ilmu dibutuhkan penemuan dan pembaharuan teori di kalangan ilmuwan etnomusikologi atau ilmu terkait secara terus-menerus. Sementara metode digunakan untuk mendukung kerja penelitian dan analisis. Metode yang baik dapat mempermudah kerja etnomusikolog dan memperoleh hasil yang terverifikasi. Teknik kerja dalam etnomusikologi tampaknya sangat diwarnai dan didukung oleh penemuan teknologi terkini. Oleh karenanya etnomusikolog haruslah menguasai teknologi terkait, bukan gagap teknologi (gaptek). 

Kemudian secara aksiogis, yaitu nilai-nilai apa yang terkandung dalam disiplin etnomusikologi, harus diletakkan sejak awal beridirinya disiplin ini.  Nilai-nilai, sasaran dan tujuan etnomusikologi tidak berbeda menariknya dengan disiplin-disiplin lain.  Musik adalah fenomena manusia secara universal dan musik ini dalam pengetahuan filsafat Barat berjasa dalam studi terhadap kebenaran itu sendiri.  Kepentingan manusia yang akhir kali adalah manusia itu sendiri, dan musik itu adalah bagian dari apa yang ia lakukan dan bagian dari apa yang ia studi terhadap dirinya sendiri.  Namun kepentingan yang sama adalah fakta bahwa musik adalah sebagai tata tingkah laku manusia, dan etnomusikolog mempunyai andil baik itu dengan ilmu pengetahuan sosial atau humaniora, menjangkau suatu pengetahuan kenapa manusia bertata tingkah laku seperti itu.

Fusi dan Prosesnya

Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi (antropologi) dan musikologi.  Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi.  Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi   selalu  dipergunakan   dalam   mendeskripsikan struktur   musik  yang  mempunyai  hukum-hukum  internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai  bagian dari fungsi  kebudayaan manusia  dan sebagai  suatu  bagian yang  menyatu dari suatu dunia yang  lebih  luas.   Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology  carries  within itself the seeds of  its  own division, for it has always been compounded of two distinct  parts, the  musicological  and  the ethnological, and  perhaps  its  major problem  is  the  blending of the two in  a  unique  fashion  which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically  upon the structure of music sound as a system  in  itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole.  At  approximately the same time, other scholars, influenced  in considerable part by American anthropology, which tended to  assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study  music in its ethnologic context.  Here the emphasis was placed not so much upon the structural  components of  music  sound as upon the part music plays in  culture  and  its functions in the wider social and cultural organization of man.  It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology,  but the designations do not seem quite apt.  The  distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory,  method, approach, and emphasis, for many provocative  studies  were  made by early German scholars in problems  not  at  all concerned  with music structure, while many American  studies  heve been devoted to technical analysis of music sound.

Dari  kutipan paragraf di atas,  menurut Merriam  para pakar etnomusikologi membawa  dirinya  sendiri kepada  benih-benih  pembahagian  ilmu, untuk  itu selalu dilakukan percampuran dua bagian  keilmuan yang   terpisah,  yaitu  musikologi  dan   etnologi.   Kemudian menimbulkan  kemungkinan-kemungkinan  masalah  besar   dalam rangka  mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang  unik, dengan  penekanan  pada salah satu bidangnya,  tetapi  tetap mengandung kedua disiplin tersebut.  Sifat dualisme lapangan studi  ini,  dapat ditandai  dari  literatur-literatur yang dihasilkannya--seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur  suara musik sebagai suatu sistem  tersendiri,  sedangkan  sarjana  lain  memilih  untuk  memperlakukan  musik sebagai  suatu  bagian dari fungsi kebudayaan  manusia,  dan sebagai  bagian  yang integral dari  keseluruhan  kebudayaan.   Pada  saat  yang  sama,  beberapa  sarjana  dipengaruhi secara  luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung  untuk mengasumsikan  kembali  suatu aura reaksi  terhadap  aliran-aliran  yang  mengajarkan  teori-teori  evolusioner  difusi, dimulai   dengan   melakukan  studi  musik   dalam   konteks etnologisnya.   Di sini, penekanan etnologis yang  dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara  musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam  kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan  kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal  tersebut  telah disarankan  secara  tentatif  oleh Nettl  yaitu  terdapat  kemungkinan  karakteristik  "aliran-aliran"   etnomusikologi   di  Jerman  dan   Amerika,   yang sebenarnya  tidak  persis  sama.   Mereka  melakukan   studi etnomusikologi  ini,  tidak  begitu  berbeda,  baik   dalam geografi,  teori,  metode,  pendekatan,  atau  penekanannya.  Beberapa  studi  provokatif  awalnya  dilakukan  oleh   para sarjana  Jerman.   Mereka  memecahkan  masalah-masalah  yang bukan  hanya pada semua hal yang berkaitan  dengan  struktur musik saja.  Para   sarjana   Amerika    telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.  Dari  kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua  disiplin  dasar  yaitu  etnologi  dan  musikologi, walau  terdapat variasi penekanan bidang yang  berbeda  dari masing-masing  ahlinya.   Namun  terdapat  persamaan   bahwa mereka   sama-sama  berangkat  dari  musik dalam konteks kebudayaannya.   

Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi.  Dalam edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995, yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.  Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.

Dari 42 definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan atropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan interdisiplin.  Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial sekali gus, merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia yang melakukan musik sedemikian rupa itu.  Walau awalnya mengkaji budaya musik non-Barat, namun sekarang ini semua jenis musik menjadi kajiannya namun jangan lepas dari konteks budaya.  Dengan demikian, masalah definisi dan lingkup kajian etnomusikologi sendiri akan terus berkembang dan terus diwacanakan tanpa berhenti.  

 Ruang Lingkup Kajian

Dalam pandangan dua jenis disiplin yang mengisi etnomusikologi ini, atau musik eksotik (‘ajaib’) sebagaimana yang kemudian mereka sebut, kebanyakannya selalu didefinisikan dalam istilah-istilah yang menekankan kepada deskriptif: studi karakter struktural dan daerah geografis yang selalu ingin dijangkaunya.  Misalnya  Benjamin Gilman, pada tahun 1909, menganjurkan ide studi terhadap musik eksotik yang sebenarnya, meliputi bentuk-bentuk musik primitif dan Dunia Timur atau Oriental (1909), sedangkan V.M. Bingham menambahinya dengan musik para petani Dalmatian (1914).  Penilaian umum terhadap pandangan ini, memberikan anjuran untuk juga mempergunakan definisi secara kontemporer, di mana daerah geografis lebih ditekankan, dibanding jenis-jenis studi yang dilakukan.  Marius Schneider mengatakan bahwa “tujuan utama [etnomusikologi adalah] studi komparatif terhadap semua karakteristik, yang biasa atau tidak biasa, dari [musik] non-Eropa”[11]; dan Nettl mendefinisikan etnomusikologi sebagai “sains terhadap sejumlah besar musik rakyat di luar peradaban Barat.”

Kesulitan dengan jenis definisi seperti ini adalah terhadap kecenderungan untuk membatasi ruang lingkup dan pendekatannya, yang pada akhirnya, etnomusikologi ini lebih berupa suatu proses dibandingkan dengan pembatasan geografis yang statis. Willard Rhodes, sebagai contoh, memberikan langkah dalam arahan ini, meskipun bersifat tentatif, ia menambahkan musik “Timur Tengah, Timur Jauh, Indonesia, Afrika, Indian Amerika Utara, dan musik rakyat (folk) Eropa” juga studi “musik dan tarian populer”.  Pada masa yang lebih akhir, Kolinski mempunyai maksud untuk mendefinisikan etnomusikologi sebagai “sains terhadap musik non-Eropa” dan dia mencatata bahwa “etnomusikologi ini tidak banyak perbedaannya dalam area geografis analisis, sebagaimana dalam pendekatan umum yang membedakan etnomusikologi dari musikologi pada umumnya”

Jaap Kunst menambahkan suatu dimensi lanjutan, yaitu kualifikasi terhadap tipe-tipe musik yang dapat distudi dalam etnomusikologi, seperti yang ditulisnya seperti berikut [terjemahan penulis].

Objek-studi etnomusikologi, atau, yang pada awalnya disebut: musikologi komparatif, adalah musik dan alat musik tradisional dalam semua strata kebudayaan umat manusia, dari yang disebut masyarakat primitif sampai kepada bangsa yang berperadaban.  Sains kita ini, selanjutnya, menyelidiki semua musik tribal dan folk dan setiap jenis musik seni non-Barat.   Di samping itu, studinya juga mencakup aspek sosiologi musik, seperti fenomena akulturasi musik, mis. Pengaruh hibridasi dengan elemen-elemen musik asing.  Musik seni dan musik populer (hiburan) Barat tidak termasuk ke dalam lapangan etnomusikologi .

            Mantle Hood mengajukan definisinya dari usul Masyarakat Musikologi Amerika, tetapi dengan menyisipkan (memasukkan ke dalam tanda kurung) prefiks “etno,” yang dalam usulannya menyatakan bahwa “[Etno]musikologi adalah suatu lapangan ilmu pengetahuan, yang mempunyai objek penyelidikan terhadap seni musik, sebagaimana pula fisika, psikologi, estetika, dan fenomena kebudayaan.  [Etno]musikolog  adalah seorang ilmuwan-peneliti, dan dia mengarahkan dirinya terutama untuk mencapai pengetahuan tentang musik.[ Akhirnya, Gilbert Chase menunjukkan bahwa “penekanan pada masa kini … adalah studi musik kontemporer manusia, untuk masyarakat apa pun, ia dapat memasukkannya, apakah masyarakat primitif atau kompleks, Timur atau Barat.

Untuk definisi yang bervariasi ini, saya mempunyai suatu yang perlu ditambahkan, dalam menyatakan etnomusikologi, Merriam  mendefinisikannya sebagai “studi musik di dalam kebudayaan adalah suatu yang penting bahwa definisi ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami.  Makna implisit yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan.  Suara musik tidak akan tercipta, kecuali dari satu orang  ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan yang lengkap tanpa mau mempelajarinya.   Tata tingkah laku manusia menghasilkan musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu tentunya akan melibatkan aliran studi lainnya.

Dalam Konteks Aliran Pemikiran

Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, maka etnomusikologi juga tidak harus mengisolasi diri dari perkembangn-perkembangan arus pemikiran ilmu-ilmu sosial, humaniora, maupun eksakta pada masa kini. Etnomusikologi harus membuka diri untuk menerima berbagai teori dan metode dari ilmu-ilmu lainnya. Pada masa sekarang ini jeas terjadi pergulatan antara aliran pemikiran modernisme dengan posmodernisme.  Begitu juga muncul aliran pemikiran posstrukturalisme dan poskolonialisme. Semua aliran-aliran ini sudah semestinya direspons oleh para etnomusikolog di seluruh dunia. 

Ada kesamaan dan titik temu antara tujuan etnomusiklogi sebagai ilmu dengan aliran pemikiran posmodernisme, sebagai antitesis terhadap modernisme, yaitu adanya kesamaan menghargai pluralitas budaya.  Secara historis, stilah posmodernisme muncul dalam kebudayaan Eroamerika pada dasawarsa 1960-an. Posmodernisme muncul dalam disiplin-disiplin: seni rupa, sastra, arsitektur, teater, musik, ilmu-ilmu sosial, filsafat, dan lainnya. Walaupun posmodernisme muncul secara spektakuler pada dekade 1960-an, terutama di Amerika, namun gejala-gejala geliatnya telah tampak sejak akhir abad kesembilan belas di mana saat itu lagi tumbuh subur ide modernisme di dunia ini.  Rintisan awal aliran pemikiran ini bersumber dari pemikiran filosof Friederich Nietzsche di akhir abd kesembilan belas. Kemudian diteruskan ke awal abad kedua puluh oleh pemikiran filsafat yang bersumber dari filosof Martin Heidegger. 

Alira pemikiran posmodernisme ini mulai diwacanakan secara holistik dan serius oleh filosof Lyotard dan Kristeva. Bahkan terjadi polemik antara Lyotard yang mewakili kubu posmodernisme (poststrukturalis) dan Habermas yang mewakili kubu modernisme (strukturalis). Bagi Habermas, meskipun di dunia ini terjadi krisis sosiopolitis yang begitu mendasar, namun mencuatnya gagasan rasionalisme modernis tampaknya belum selesai, dan masih akan berlangsung lama. Para pendukung posmodernisme juga umumnya terkesan anti terhadap filsafat Hegelian dan Marxisme, yang mereka anggap sangat totalitarian. Hegel menotalkan setiap unsur kehidupan pada unsur roh atau juwa, sebaliknya Karl Marx pada substansi materi.

Kritik lainnya para pendukung posmodernisme diarahkan kepaa berbagai faham kebenaran dalam dunia ilmiah yang disebut dengan legitimasi, yang biasanya mengacu secara tunggal pada idealisme.  Padahal sains yang lahir dari metode rasional dan empirik, tidak akan leps dari aspek etika, metafisika, dan hal-hal irasionalitas lainnya. Dengan demikian, dalam kondisi masyarakat kontemporer, pengetahuan tidak membutuhkan lagi legitimasi pada kebenaran tunggal, sehingga manusia dihadapkan kepada delegitimasi atau paralogi, yang menghargai keanekaragaman atau pluralisme.

Dalam konteks kenegaraan misalnya, Indonesia Indonesia memiliki filsafat dan way of life Pancasila, yang menurut masyarakatnya digali dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran pemikiran Pancasila ini wajar diterima ole seluruh warga negara Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sudah selayaknya setiap etnomusikolog Indonesia atau etnomusikolog Indonesianis mendudukan aliran pemikiran ini dalam konteks mengkaji seni, terutama yang sarat dengan muatan-muatan niai Pancasila. Masih banyak aliran-aliran pemikiran lain yang dapat diambil kira oleh para etnomusikolog. Ini menjadi daya tarik sendiri ke masa depan.

 Aplikasinya di Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang merdeka pada tahun 1945. Dalam masa kemerdekaan ini, kita dapat membaginya kepada peiodesasi politik, yaitu Orde Lama dari tahun 1945 sampai 1966. Kemudian dilanjutkan ke masa Orde Baru mula tahun 1966 sampai 1998. Kemudian Era Reformasi dari tahun 1998 hingga kini. Periode ini diwarnai dengan tesis dan antitesis pemikiran dan skala pembangunan bangsa Indonesia yang merdeka. Zaman Orde Lama ditandai dengan pengutamaan di bidang pembangunan politik. Kemudian masa Orde Baru ditandai dengan pembangunan ekonomi. Zaman Reformai pula ditandai dengan pembangunan demokrasi dan kebebasan.

Etnomusikologi sebagai institusi formal memang baru dimulai tahun 1979, ketika Universitas Sumatera Utara, yang ketika itu dipimpin oleh Adi Putra Parlindungan Lubis membuka Jurusan Etnomusikologi, yang diintegrasikan di Fakultas Sastra. Pendirian institusi ini bekerjasama dengan The Ford Foundation Amerika Serikat dan Monash University, Australia.  Namun demikian, rintisan etnomusikologi ini sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Masuknya Kristen ke Indonesia juga menjadi pengalaman menarik bagi bangsa Eropa. Mereka tak akan dapat masuk melalui kekuatan senjata dan penjajahan, tetapi dapat masuk dengan cara pendekatan budaya, seperti yang dilakukan Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak. Demikian pula rintisan etnomusikologi ini sudah dimulai dengan berdirinya konservatorium-konservatorium musik yang polarisasinya seperti yang terjadi dalam berbagai konservatorium di Eropa. 

Saat Indonesia merdeka dalam rangka membina dan memberdayakan seni tradisi Indonesia, maka dibukalah sekolah-sekolah seni. Di peringkat sekolah menengah didirikan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) yang terdiri dari Jurusan Karawitan, Musik Barat, Tari, dan Teater.  Untuk seni rupa didirikan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Khusus untuk Jurusan Musik didirikan Sekolah Menengah Musik Negeri (SMMN). Di peringkat Perguruan Tinggi (PT) didirikan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) atau Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), kemudian berangsur-angsur dinaikkan tarafnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Perkembangan yang lebih akhir dinaikkan statusnya menjadi Institus Seni Indonesia atau Institut Kesenian. Kesemua perguruan tinggi seni ini hanya terdapat di kawasan Indonesia Barat, khsususnya pulau Jawa, Bali, dan Sumatera saja. Kini perguruan tinggi seni itu terdiri dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Institut Seni Indonesia Denpasar, dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang. Ada pula universitas-universitas yang mengasuh ilmu seni seperti Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Istitut Teknologi Bandung. Di sisi lain, universitas hasil penembangan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) tetap memelihara program kependidikan kesenian, yang diintegrasikan ke dalam Jurusan Sendratasik, seperi yang terdapat di Universitas Negeri Medan (Unmed), Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Makasar, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, dan lainnya.

Bidang ilmu etnomusikologi di Indonesia diajarkan di peringkat atau jenang strata satu saja, yang ini agak berbeda dengan di berbagai universitas dunia, yang umumnya mengasuh disiplin ilmu ini di peringkat strata dua atau tiga. Namun demikian pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang lebih memperluas cakupan strata dua di bidang seni,  yaitu didirianlah program studi penciptaan dan pengkajian seni baik di strata dua atau tiga. Tujuannya adalah untuk membentuk wadah yang lebih luas dalam menimba lulusan strata satu di bidang seni.   



Disunting oleh Ainal syabri

http://www.etnomusikologiusu.com/artikel-etnomusikologi.html

Comments

Popular posts from this blog

ETNOMUSIKOLOGI DAN ANTROPOLOGI

RIWAYAT HIDUP WILLIAM BYRD ( KOMPOSER MASA RENAISSANCE )

BUDAYA MUSIK DALAM AKTIVITAS MASYARAKAT SUKU ABORIGIN AUSTRALIA